Minggu, 30 September 2012

Tuhan, Apa Kita Berbeda ?

"mereka yang diluar sana tak pernah tahu apa yang kurasakan. Mereka mencibir memaki dan menghakimi. karena mereka tak pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya,"

Aku mengerti saat tatapan itu mulai memincing melihat kearahku. Beku dingin sedingin salju, aku hanya dapat menunduk berpura-pura sibuk mengutak atik aplikasi yang terdapat dihandphone-ku. Berbagai peristiwa semusim sudah aku melewatinya tanpa ada perubahan yang semakin baik.

"Menurut kamu, hubungan kamu bakalan berakhir manis atau engga?" tanya wanita ini dengan wajah penasaran dan tatapan minta diberi penjelasan. Lama sekali aku berpikir. Aku tak ingin terlihat rapuh didepan orang yang aku cintai. "Yakinlah berhasil, karena pikiran kita berdua akan menuntun pada keberhasilan itu," ucapku mantap.
"Tapi kalian gak akan bisa bersama-sama kalo kalian berbeda" terdengar nada keraguan dari bibir sang wanita.
"Kita gak beda, dia bukan katholik. Dia hanya belum ada keyakinan," bantahku dengan nada yang tegas dan lantang.
"Tapi kamu harus tetap menghindar dan menjauh dari dia sebelum ada kepastian bahwa agama yang dia pilih benar-benar Islam," suara itu semakin terdengar mengancam di telingaku, membuat jantungku terasa seperti tertusuk.
Seketika suasana menjadi hening. Ku baringkan tubuhku diatas tempat tidur, mengambil bantal untuk menutupi semua wajahku-menangis tanpa suara. Selalu begini, ketika aku merasakan takut dari rasa kekhwatiran akan hubunganku dengannya.

Bagiku, hubungan ini terlalu manis dan romantis. Dimataku, dia adalah pria yang sangat kuat. Aku berusaha membuktikan pada dunia bahwa aku hanya jatuh cinta. Bukan berzinah layaknya ungkapan orang-orang yang sok ahli dalam bidang agama. Perjuanganku menemukan banyak kerikil dan tikungan tajam, air mata dan tawa bergantian menggores bibir. Dan, cinta ... membuatku percaya, tak ada yang sia-sia jika kita masih ingin berusaha .

Semua masih bercerita tentang bahagia, bahagia dan bahagia. Aku masih bisa tertawa ditengan perbedaan yang terjadi diantara kita. Aku ta ingin mengungkit luka yang sebenarnya perlahan-lahan sudah tergores. Sejak aku tahu kekhawatiran akan adanya perbedaan tak akan mudah diperjuangkan.

Dan, apakah hanya untuk bahagia, aku perlu meninggalkan Tuhan dan menutup telinga terhadap perkataan orang ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar